Kamis, 08 Maret 2012


 SEORANG LAKI-LAKI 46 TAHUN 
DENGAN CARSINOMA NASOFARING 
BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN 
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012 



DAFTAR ISI

I. Pendahuluan 1
II. Tinjauan Pustaka      2
A. Epidemiologi 2
B. Etiologi         2
C. Gejala Klinik 3
D. Diagnostik 5
E. Stadium Klinik 7
F. Pengelolaan 8
G. Pencegahan 9
H. Prognosis        10
I. Radioterapi 10
III. Laporan kasus 16
IV. Pembahasan 24
V. Kesimpulan 26
Daftar Pustaka         27


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling sering ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker paru.1,2
Salah satu faktor penyulit menegakkan diagnosis kanker nasofaring adalah karena letak predileksinya yang tersembunyi. Selain itu, faktor kurangnya informasi kepada masyarakat terhadap penyakit ini, juga menyebabkan gejala dini dari penyakit ini tidak diketahui penderita.3,4
                    Disamping itu, faktor penyakitnya sendiri ketika masih dini sering tidak menimbulkan keluhan yang mengganggu sehingga penderita tidak datang berobat,  sulitnya menegakan diagnosis dini, hasil biopsi yang sering negatif meskipun telah dilakukan berulang kali pada daerah yang dicurigai, kurangnya kewaspadaan dokter terhadap gejala dini dan sarana alat untuk menegakkan diagnosis dini penyakit tersebut juga menjadi penyulit dalam menegakkan diagnosis kanker nasofaring.3,4
Tindakan operasi kurang dapat berperan pada penanganan karsinoma nasofaring. Tindakan pembedahan hanya terbatas pada tindakan biopsi tumor primer atau kelenjar getah bening regional pada kasus baru, residu atau kekambuhan lokal.2
Radioterapi dalam pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan untuk radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan kepada pasien kanker nasofaring WHO 1,2,3 yang menunjukkan respon radiasi yang baik pada evaluasi awal, sedangkan radioterapi paliatif diberikan kepada pasien dengan metastase. Pemantauan terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.2.
Pada tulisan ini dilaporkan seorang pria  dengan karsinoma nasofaring WHO  dalam eksternal  radiasi 8 kali.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Karsinoma Nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada fosa rosenmulleri. Anggapan ini berdasarkan atas teori bahwa tempat pergantian epitel merupakan predileksi terjadinya keganasan. Fosa rosenmulleri merupakan daerah pergantian epitel silindris atau epitel kuboid ke arah gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas nasofaring (basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi koanae), dan di sekitar tuba.4

A. Epidemiologi
Kanker Nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia. Survei departemen kesehatan menunjukkan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk per tahun. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia 50-59 tahun, hanya 30% dari penderita karsinoma nasofaring yang berusia di bawah 50 tahun. Sejauh yang ditemukan, penderita paling muda delapan tahun, yang tertua 83 tahun. Walau insidennya tinggi, kanker ini kurang populer karena tumbuh di tempat tersembunyi dan pada stadium dini tak menimbulkan gejala yang khas, sehingga pasien ataupun dokter tak menyadari. Ras kulit putih sangat jarang terkena penyakit ini. Di Asia yang terbanyak adalah bangsa Cina, baik di negara asal maupun di negara perantauan, dimana tingkat insidensi di Cina Selatan kejadiannya 40 per 100.000 orang. Ras Melayu-Indonesia dan Malaysia-termasuk yang agak banyak terkena. Perbandingan penderita kanker nasofaring antara lelaki : perempuan = 2,4 – 1.3

B. Etiologi
Penyebab Karsinoma Nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Banyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein Barr, karena pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein Barr yang cukup tinggi.1
Faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini adalah letak geografis , rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman/parasit. Penyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.1,5
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan menggunakan bumbu masakan tertentu, dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang terlalu panas.2 Penelitian terdahulu menyatakan bahwa kelembaban udara sekitar merupakan faktor predisposisi Karsinoma Nasofaring.5

C. Gejala Klinik
Pada dasarnya gejala Karsinoma Nasofaring dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu :
1. Gejala hidung
Gejala hidung merupakan gejala paling dini, tapi seringkali didiagnosis sebagai rinitis kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. Oleh karena itu, kecurigaan kanker nasofaring dari gejala hidung lebih ditekankan bila penderita rinore lebih dari 1 bulan, usia lebih dari 40 tahun atau rinore dengan ingus kental, bau busuk, lebih-lebih bila bercampur titik-titik darah tanpa kelainan di hidung dan sinus paranasal. Gejala lainnya dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.1,5
2. Gejala telinga
Gejala telinga dapat berupa rasa penuh di telinga, berdengung atau tinitus, serta kurang pendengaran tipe hantaran. Gangguan pendengaran terjadi bila massa tumor menyebabkan oklusi tuba. Gangguan pendengaran ini kadang masih dianggap ringan oleh penderita, bahkan oleh dokter karena kurang pendengaran ini dianggap akibat sumbatan tuba oleh rinitis kronik.Gejala telinga ini merupakan gejala yang sangat dini dari Karsinoma Nasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas.1,5
3. Gejala tumor leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring, dapat unilateral maupun bilateral. Khas tumor leher pada kasus ini adalah bila letak tumor di ujung prosesus mastoid, dibelakang angulus mandibula, didalam m. sternokleidomastoideus, massa tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah digerakkan. Gejala tumor leher ini merupakan gejala yang agak lanjut dari karsinoma nasofaring, diperkirakan hal inilah yang mendorong penderita datang berobat.1,5
4. Gejala mata
Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata seperti nervus II, III, IV,VI. Penderita biasanya mengeluh melihat dobel atau diplopia karena kelumpuhan N VI. Kelumpuhan mata/optalmoplegia akibat kelumpuhan N III dan N IV, dan apabila mengenai N II akan menimbulkan kebutaan.1,5
5. Gejala kranial/ syaraf
Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan nervi kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Pada gejala kranial ini, sebelum terjadi kelumpuhan syaraf kranial, didahului oleh gejala subjektif dari penderita, seperti kepala sakit, kurang rasa pada daerah hidung dan pipi, kadang kesulitan menelan. Gejala-gejala syaraf ini meliputi:
- Anosmia, kerusakan nervus I karena desakan melalui foramen olfaktorius.
- Sindroma petrosfenoidal, melibatkan nervus VI, III, IV dan II, gejala yang muncul antara lain, strabismus, penurunan kelopak mata atas, kesulitan membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan.
- Parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah, karena terjadi parese nervus V yang merupakan saraf sensorik dan motorik.
- Sindroma parafaring, melibatkan nervus IX, X, XI, XII, gejala yang ditimbulkan antara lain;  hilangnya refleks muntah, disfagi, parese lidah dan  deviasi uvula ke sisi yang sehat, hipersalivasi, disfoni, afoni, disfagi, spasme esofagus, nyeri pada faring dan laring. Pada parese nervus XI terdapat kesukaran memutar kepala atau dagu.1,5

D. Diagnostik
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada karsinoma nasofaring, protokol diagnosis yang perlu dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior yaitu dengan menggunakan kaca tenggorok dibantu 2 buah kateter karet yang dimasukkan melalui masing-masing lubang hidung dan dikeluarkan dari mulut untuk menarik palatum molle ke atas sehingga rongga nasofaring dapat tampak lebih jelas.2
2. Biopsi nasofaring
Diagnostik pasti dengan melakukan biopsi nasofaring yang dapat melalui hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konkae media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama – sama ujung kateter yang berada di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.1
3. Histopatologi, dengan melihat struktur histologis, maka karsinoma nasofaring dibagi beberapa jenis sesuai dengan pembagian WHO, yaitu
WHO 1 : karsinoma sel sel skuamosa, berkeratin di dalam maupun di luar
    sel. Sel-sel kanker  berdiferensiasi baik sampai sedang.
WHO 2 : termasuk adalah karsinoma non keratin, tumor berdiferensiasi sedang sampai baik.
WHO 3 : karsinoma tanpa differensiasi, gambaran sel kanker paling heterogen. Karsinoma anaplastik, clear cell carsinoma dan variasi sel spindel.
Jenis ‘undifferentiated’ dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang serupa yaitu sama-sama radiosensitif serta mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein – Barr, sedangkan jenis keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan yang berarti dengan virus tersebut.2
4. Serologis
Pemeriksaan serologis diperkenalkan saat ini sebagai salah satu cara untuk deteksi dini kanker nasofaring. Dengan masuknya virus ke dalam sel manusia, badan akan membentuk suatu reaksi imunologi atau kekebalan tubuh terhadap antigen-antigen yang ada di dalam virus. Penyelidikan reaksi imunologi terhadap antigen virus Epstein Barr ini telah berhasil mengindentifikasi beberapa antigen khusus yang dijumpai pada karsinoma nasofaring.
a. Antibodi Ig G dan Ig A terhadap Viral Capsid Antigen (VCA). Sampai saat ini, pemeriksaan titer Ig A - VCA dianggap yang paling spesifik dan sensitif untuk diagnosa dini kanker nasofaring. Uji ini juga dianggap metode pilihan untuk keadaan occolt primary yaitu keadaan ditemukannya kelainan berupa pembesaran kelenjar servikal atau destruksi dasar tengkorak atau kelumpuhan saraf otak tanpa adanya tumor di nasofaring.
b. Ig G anti Farly Antigen (FA). Untuk deteksi dini kanker nasofaring, uji ini kurang sensitif jika dibandingkan dengan Ig A - VCA.
c. Antibody Dependent Cellular Cytotoxicty (ADCC). Pemeriksaan ADCC dapat menentukan perjalanan penyakit serta prognosis berdasarkan tinggi rendahnya titer pada waktu diagnosis.2
5. Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, invasi ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh.

Pemeriksaan yang diperlukan antara lain :
  Foto thorax PA
  Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters)
  CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak diragukan adanya destruksi tulang dan jika klinis tidak ditemukan kelainan yang menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan untuk radiasi intrakaviter.
  Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.
  Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol.
  MRI 2,5,6
6. Pemeriksaan neurooptalmologi
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan sekitar yang menyebabkan penekanan/ infiltrasi ke saraf otak. Manifestasinya tergantung dari saraf yang dikenai.2

E. Stadium klinik
Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC
T   = Tumor primer
T0 : tidak terdapat tumor primer.
T1 : tumor terbatas di daerah nasofaring.
T2 : tumor telah meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga hidung.
T2a Tanpa adanya perluasan ke daerah parafaring
T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 : tumor telah menginvasi jaringan tulang dan atau semua sinus paranasalis.
T4 : tumor telah meluas ke intracranial dan atau mengenai saraf-saraf kranial, rongga infra temporal, daerah hipofaring atau rongga orbita

N   = Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 : tidak ada metastasis ke KGB regional.
N1 : metastasis unilateral pada KGB di atas daerah supraklavicula dengan
diameter terpanjang kurang dari 6 cm.
N2 : metastasis literal pada KGB di atas daerah supraklavicula.
N3 : metastasis pada KGB
a. Diameter terpanjang lebih dari 6 cm
b. Pada daerah supraklavicula
M  = Metastasis jauh
M0 : tidak ada metastasis jauh.
M1 : terdapat metastasis jauh.2

                                                                         5 year surv rate
       Stadium I    :  T1                 N0                     M0          76,9%
       Stadium II   :  T2                    N0                 M0         56   %
       Stadium III  :  T3               N0                     M0           38,4%
                             T1, T2 ,T3       N1                     M0
       Stadium IV  : T4                  N0,N1               M0         16,4%
                              Tiap  T           N2,N3               M0
                              Tiap  T           Tiap N                 M1

F. Pengelolaan
a. Pengobatan Bedah
Dilakukan operasi transpalatal maupun operasi transmaksilerparanasal, tetapi terapi bedah ini tidak berkembang karena hasilnya kurang efektif dibandingkan dengan tindakannya.1
Tindakan pembedahan diseksi leher radikal kadang dilakukan untuk mengobati metastasis ke kelenjar limfe leher. Pembedahan dilakukan  terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang.1,5
b. Pengobatan dengan Sitostatika
Pengobatan dengan sitostatika pada karsinoma nasofaring merupakan pengobatan adjuvan atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang berhasil. Adapun kapan sebaiknya sitostatika diberikan adalah sebagai berikut:
Stadium I / II bila sesudah radiasi internal masih ada residu lokal.
Pada residif tumor primer
Pada stadium IV dengan residif / residu atau dengan metastasis jauh.2

Sitostatika yang diberikan pada penderita karsinoma nasofaring adalah:
Cisplatinum 60 mg/m2 diberikan secara tetesan dalam 250 cc NaCl 0,9% hari I dan II
Bleomycin 8 mg diberikan secara intramuskular hari III dan IV
5 FU 750 mg diberikan secara tetesan dalam 250 cc dextrose 5% hari I dan II.2
Siklus pengobatan diulangi setelah 1 bulan maksimal 5 kali. Fungsi ginjal harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan agar penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk mengatasi efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin, antiemetik dan lain-lain.2
      c.   Radioterapi
         Radio terapi masih merupakan pengobatan utama, ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya.6

G. Pencegahan
Karena penyebab Karsinoma Nasofaring belum jelas, pencegahan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh pada timbulnya Karsinoma Nasofaring tersebut yaitu :
1. Penggunaan vaksin EBV pada penduduk yang tinggal di daerah resiko tinggi.1
2. Penerangan kebiasaan hidup yang sehat, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang ditimbulkan dari bahan-bahan yang berbahaya.1

H. Prognosis
Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis secara signifikan. Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate pada pasien kurang dari 50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang lebih tua. Pada penelitian Qin, pasien yang lebih muda dan wanita memiliki survival rate lebih baik daripada pria. Qin juga melaporkan survival rate pada pasien stadium awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik daripada stadium lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV).6
Kerusakan saraf cranial tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan menurunnnya survival rate.6
Jenis histologik dari tumor mempengaruhi kontrol tumor dan survival rate. Chen dan Fletzer melaporkan 31-33% rekurensi untuk karsinoma sel squamosa dan 10-12% untuk limfoepitelioma. Tetapi pada penelitian Meyer dan Wang tidak ditemukan perbedaan untuk perbedaan variasi histologik.5

I. RADIOTERAPI
Sebagai pengobatan pilihan pada KNF ( karsinoma nasofaring ) penanganan radioterapi pada KNF dapat diberikan dengan cara :
Radiasi Externa / teleterapi
Brachiterapi
Kombinasi radiasi dengan kemoterapi
KNF biasanya memiliki lesi primer pada fossa Rosenmuller dengan metastase ke kelenjar getah bening leher. Karena letaknya yang sulit di deteksi, biasanya datang pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri atau bersama kemoterapi biasanya merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.5

I. Radiasi kuratif
Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radias kuratif adalah tumor primer bersama kelenjar getah bening leher dan supraklavicula. Jenis radiasi pada radiasi kuratif meliputi:
  Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis 60-66 Gy dan kelenjar supra-klavicula dengan dosis 50 Gy.
  Radiasi intrakaviter (brakhiterapi) sebagai dosis radiasi booster pada tumor primer diberikan dengan dosis (6x3 Gy), sehari 2x.
Apabila secara teknis tidak bisa diberikan radiasi intrakaviter oleh karena pasien tidak mampu / menolak dilakukan tindakan brakhiterapi. Bila setelah dosis total 60 Gy, daerah sinus paranasalis tidak bersih, maka radiasi dilanjutkan sampai dengan 70 Gy.2

II. Radiasi paliatif
Radiasi paliatif diberikan bila stadium IV metastase jauh. Sasaran dan bentuk radiasi individual, tergantung keluhan yang perlu mendapat radiasi paliatif. Untuk tumor primer dosis radiasi 40-50 Gy. Untuk metastase jauh, tergantung lokasi metastase.5

III. Teknik Radiasi
Pemberian terapi radiasi harus diimbangi dengan teknik radiasi yang baik dengan harapan mendapatkan hasil terbaik dengan efek samping radiasi seminimal mungkin, hal ini meliputi:
a) Persiapan Pra Radioterapi
(1) Perbaikan Keadaan Umum
Mempersiapkan keadaan umum penderita sebaik mungkin dengan mempertimbangkan waktu perluasan tumor.
(2) Dilakukan Pemeriksaan Keadaan Gigi dan Mulut
Meningkatakan Higiene dan menghilankan fokal infeksi di rongga mulut.2
b) Pesawat / Jenis Radiasi
Digunakan pesawat :
Tele Cobalt
Linier Akselerator Foton 4 mV/ 6 mV
Digunakan pesawat terapi tele bertenaga tinggi ( Cobalt 60; linier akselerator  4 Mev) untuk mengurangi efek samping pada kulit serta jaringan lain.5
c) Alat bantu
Alat bantu terdiri dari :
Sebuah penopang tengkuk, agar kepala dapat ekstensi
Masker atau topeng, terbuat dari PVC (Poli Vinil Chloride), atau Thermoplast
Blok Timah hitam.2
d) Simulasi
Simulasi Dilakukan dengan :
Alat Simulator ( di RSDK )
Alat Rontgen Konvensional untuk membuat foto lokalisasi dengan jarak fokus kulit sama dengan FSD alat radiasi.2
e) Jumlah lapangan radiasi minimal 2 (dua) lapangan
Untuk stadium I ,II lapangan radiasi Plan Paralel Lateral Supraklavikula
Untuk Stadium III lapangan radiasi isosenter : Anterior dan Plan Paralel Lateral Supraklavikula
Untuk Stadium IV Lapangan Radiasi tergantung
o Bila KGB leher sangat besar, lapangan radiasi depan – belakang (D-B)
o Bila KGB leher cukup kecil atau tidak memotong tumor di leher radiasi bisa Anterior dan Plan Paralel Lateral Supraklavikula.2


f) Batas-batas lapangan Penyinaran
batas atas meliputi seluruh dasar tengkorak termasuk sella tursika
batas anterior di depan choanae, mencapai setengah bagian posterior dari palatum durum, atau menyesuaikan perluasan tumor ke depan
batas posterior di sebelah belakang meatus akustikus eksternus, seluruh rantai sepanjang m. Sternocleidomastoideus atau sesuai dengan lesi metastase ( diberi marker logam )
batas bawah setinggi tepi bawah korpus vertebra C-2 atau setinggi tepi atas kartilago tiroidea
Radiasi juga diberikan pada kelenjar getah bening supraklavikuler dan leher bawah. Arah sinar diberikan dari arah anterior dengan batas lapangan ini 0,5 cm di bawah lapangan laterolateral
Blokade diberikan untuk mengamankan medula spinalis
Apabila terdapat pembesaran kelenjar limfe dari mastoid sampai ke supraklavicula maka diberikan radiasi dari depan ke belakang, batas atas lapangan radiasi harus mencakup seluruh dasar tengkorak, batas bawah pada tepi bawah klavicula (kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavicula). Bagian medial leher (trakea, esofagus dan medula spinalis) harus dihindarkan dari radiasi dengan memasang blok timah pada daerah tersebut selebar 1 cm dan tinggi minimal 6 cm.
Pengecilan lapangan radiasi dilakukan  apabila tumor jauh mengecil, dosis radiasi mencapai 40 Gy. Batas posterior menjadi di sebelah depan meatus akustikus eksterna sehingga medula spinalis terletak di luar lapangan radiasi. Batas bawah menjadi setinggi angulus mandibula. Batas anterior tidak mengalami perubahan
Apabila terdapat infiltrat tumor ke dalam sinus-sinus paranasal dan atau kavum nasi, maka lapangan radiasi sesuai dengan lapangan radiasi untuk tumor primer ditambah dengan lapangan anterior, yang pada pelaksanaannya menggunakan dua buah penyaringan pada lapangan lateral kiri-kanan guna mendapatkan dosis yang homogen pada seluruh tumor. Dosisnya adalah 2 Gy. Bola mata harus ikut serta mendapat radiasi apabila terbukti didapatkan infiltrasi pada ruang intraorbita, saraf optikus atau tulang-tulang sekitar mata.3
Untuk tumor-tumor yang terbatas pada nasofaring serta tidak ditemukan pembesaran kelenjar leher T2/T2 No batas batas lapangan diubah maka batas atas lebih rendah dari dasar tengkorak ( sela tursika di luar lapangan radiasi)

IV. Dosis Radiasi
Dosis radiasi:
  Dosis perfraksi yang diberikan adalah 2 Gy diberikan 5 kali dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Dilanjutkan pengecilan lapangan radiasi / blok medula spinalis. Setelah itu radiasi dilanjutkan untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 60-70 Gy pada tumor. Hanya kelenjar regional yang membesar yang mendapat radiasi sampai 60 Gy atau lebih. Bila tidak ada pembesaran ini maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan klavicula cukup sampai 40 Gy.
  Untuk tumor dengan stadium T1 N0 M0, T2 N0 M0 radiasi eksterna diberikan dengan dosis total 54 Gy, kemudian dievaluasi dengan CT-Scan, bila hanya tersisa di daerah nasofaring saja, pasien diterapi dengan brakhiterapi dengan fraksi 3 x (2x3 Gy), pagi dan sore dengan jarak 6 jam atau dengan radiasi eksterna dengan dosis 60 Gy, kemudian dievaluasi dengan CT-Scan bila hanya tersisa pada nasofaring saja, pasien diistirahatkan 1-2 minggu, kemudian dilanjutkan dengan brakhiterapi dengan fraksi 3x (2x3 Gy), pagi dan sore dengan jarak 6 jam.
  Untuk tumor dengan T4 radiasi eksternal diberikan 70 Gy
  Tetapi bila kasus semua di atas masih tersisa di sinus paranasalis, maka radiasi eksternal diteruskan menjadi 60-70 Gy.2
Brakhiterapi pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Diberikan pada kasus-kasus T1-T2 yang setelah dosis eksterna 54-60 Gy, istirahat 2 minggu, kemudian baru dilakukan brakhiterapi.
Dilakukan dengan cara ”after loading”. Pada penderita cukup diberi anestesi lokal. Penderita dalam keadaan berbaring dan melalui kavum nasi dimasukkan aplikator sambil diraba dari rongga mulut apakah ujung aplikator benar-benar sudah melekat pada dinding faring. Aplikator kemudian difiksasi dengan memasukkan tampon diantara sela-sela aplikator dengan rongga hidung. Sisanya yang berada di luar rongga hidung juga difiksasi. Diberikan dosis sebesar 15 Gy, 1,5 cm dari sumbu aplikator, diulangi 1 minggu kemudian dengan cara dan dosis yang sama. Untuk meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap jaringan sehat sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat pemberian radiasi.2

IV. Pemantauan Radiasi
1. Pemantauan selama pelaksanaan radiasi
- pemeriksaan klinis sekurang-kurangnya setelah 5 kali radiasi atau setiap kali pasien mengalami keluhan baru yang timbul setelah radiasi.
- catat keluhan pasien, bila perlu diberi terapi medikamentosa
- periksa Hb, Leukosit, Trombosit setiap setelah 5 kali radiasi. Syarat dilakukan radiasi : Hb > dari 10 gr %, Leukosit > dari 3000, Trombosit > dari 80.000
2. Pemantauan setelah selesai radiasi
- Dilakukan setiap bulan sekali selama 6 bulan kedua dan setiap 3 bulan selama 6 bulan ketiga dan seterusnya.
- Nilai keadaan umum, tanda-tanda metastasis ke hati, tulang atau paru-paru
- Nilai tumor primer dan kelenjar-kelenjar, ada tidaknya residu tumor / kelenjar dilakukan paling sedikit 8 minggu setelah radiasi selesai. Harus dibedakan antara jaringan tumor dan fibrosis pasca radiasi.2

BAB III

LAPORAN KASUS


I. IDENTITAS PENDERITA
Nama :  Tn S
 Umur :  46  tahun
 Jenis kelamin :  Laki-laki
 Agama :  Islam
 Alamat :  Purwokerto
 Pekerjaan :  Guru
 Suku :  Jawa
No CM :  C208934
Masuk RSDK :  7 April 2011

II. DATA DASAR
A. Anamnesis ( 2 Maret 2012)
Keluhan Utama : Benjolan di leher kanan (Rujukan RSUD Purwokerto)
Riwayat Penyakit Sekarang :
.
o Sejak ± 3 tahun yang lalu pasien mengeluh sering muntah sebanyak tiga kali disertai mimisan yang berlangsung ± 5 menit berhenti setelah diberikan daun sirih lalu pasien pergi ke dokter dan diberi obat. Pasien berobat ke dokter dikatakan alergi
o ± 1,5 tahun yang lalu muncul benjolan di leher kanan namun tidak merasa nyeri dan warna benjolan sama dengan warna kulit leher. Benjolan  awalnya sebesar kelereng semakin lama semakin membesar, dibawa ke dokter THT dan dikatakan tidak ada apa-apa, sehingga pasien kurang puas dan berganti dokter THT
o ± 1 tahun yang lalu pasien berobat ke RST dikatakan ada tumor dan disarankan untuk pemeriksaan PA, dan pasien dirujuk ke RSDK dan memulai kemoterapi.
o Sampai saat ini pasien sudah mendapat terapi dengan penyinaran. Pasien sudah menjalani 8x terapi kemudian diperiksa CT Scan dan didapatkan masih tampak sedikit benjolan disarankan melanjutkan kemoterapi dan radiasi sebanyak 2x. Keluhan hidung mampet (-), mimisan terakhir kali 2 minggu yang lalu, nyeri kepala (-), melihat dobel (-), telinga  gembrebeg (-), mual (-), muntah (-), sariawan (-), buang air besar tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
-  Hipertensi (-)
-  Kencing manis (-)
-  Riwayat penyakit jantung (-)
-  Riwayat batuk lama dan pengobatan TB (-)
-  Riwayat sakit kanker (-)
-  Riwayat alergi (+) debu, makanan laut, nanas
-  Riwayat alergi obat (-)
-  Riwayat makan ikan asin sering (-), makan mie instan sering (-), makan dan
            minum makanan atau minuman panas sering (+), makan makanan pedas(-).
-  Riwayat merokok (+)
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini
▪    Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah guru MTs di Purwokerto . Ibu sebagai  ibu ramah tangga. Pasien memilik 2 anak yang belum mandiri. Biaya pengobatan di tanggung jamkesda
Kesan : sosial ekonomi kurang

B. Pemeriksaan Fisik ( 2 Maret 2012 )
PEMERIKSAAN FISIK
Status Praesen (Tanggal  2 Maret 2012)
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis

Tanda vital : TD    : 120/80 mmHg suhu : 36,80C
   nadi  : 78x/menit RR    : 23x/menit
Kepala :  mesosefal, turgor cukup
Mata : conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), diplopia (-) pupil isokor Ø 3mm/3mm, refleks cahaya +/+
Hidung : nafas cuping (-), sekret (-), septum deviasi (-)
Telinga : discharge (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-), bibir kering (-)
Tenggorokan : T1-T1, faring hiperemis (-).
Leher : simetris, trakhea ditengah, pembesaran nnll (-)
Thorax
Pulmo I : simetris statis dinamis
Pa : stem fremitus kanan = kiri
Pe : sonor seluruh lapangan paru
Au : SD vesikuler, ST (-)
Cor I : ictus cordis tak tampak
Pa : ictus cordis teraba pada SIC V 2 cm medial LMCS,
   Pe :  konfigurasi jantung dalam batas normal
  Au :  Suara jantung I-II murni, bising (-), gallop (-).
                    Abdomen I :  datar, venectasi (-)
Au :  bising usus (+) normal
Pe :  timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Pa :  supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan(-), defans muskuler (-)
Ekstremitas Superior Inferior
Akral dingin -/-  -/-
Sianosis -/-  -/-
Edema                                               -/-                       -/-
Capillary refill                    < 2”/ <2”             <2”/<2”
Sensibilitas +/+ +/+
Motorik +/+ +/+
C. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a. Darah rutin ( 24 Februari 2012 )
Hb         : 11,00 gr/dl (L)
Eritrosit         : 3.460.000/mm3 (L)
Lekosit         : 6100/mm³
Trombosit : 177.000/mm³
Ht         : 33,0 % (L)
MCV : 95,40 femtoliter
MCH : 31,80 pikogram
MCHC         : 33,30 gr/dl
Kesan : Anemia
b. Kimia klinik (  24 Februari 2012 )
GDS : 84 mg/dl
Ureum : 10 mg/dl
Creatinin : 0,78 mg/dl
Na : 140 mmol/l
K : 4,6 mmol/l
Cl : 105mmol/l
Ca : 2,32mmol/l
Kesan : dalam batas normal
2) Pemeriksaan Radiologi
     a. CT Scan Nasofaring dengan  kontras (15 November 2011)
- Tampak massa isodens, batas tak tegas, pada nasofaring kanan-kiri, parafaring kanan-kiri, retrofaring dan kavum nasi kanan yang menyebabkan obliterasi dan fossa rusenmuller dan torus tubarius kanan-kiri, tampak destruksi pada dinding sinus spenoid kanan dan os petrosus kanan, pasca injeksi kontras tampak enhacment inhomogen
- Tampak mastoid air cell berkurang dan suram
- Tampak deviasi septum nasi ke kanan
- Tak tampak kesuraman pada sinus maksilaris dan ethmoidalis kanan-kiri
- Tampak multipel limfadenopati regio colli kanan (Ukuran terbesar sekitar 3 x 1,5 cm)
Kesan:
Massa isodens pada nasofaring kanan, parafaring kanan-kiri, retrofaring sampai cavum nasi yang menyebabkan obliterasi dari fossa rosenmuller dan torus tubarius kanan-kiri, disertaidestruksi os petrosos kanan dan limfadenopathi regio colli kiri (T3N1Mx)
Deviasi septum nasi ke kanan
 
          b. USG Abdomen (7 April 2011)
Hepar : ukuran normal, parankim normal, tak tampak nodul, v porta      dan v hepatika tak melebar                        
Ductus biliaris:  intra dan ekstra hepatal tak melebar
Vesica Felea : ukuran normal, dinding tak melebar,  tak tampak batu,
  tak tampak, slude
Lien : parenkim dan ukuran normal, v lienalis tak melebar,
  tak tampak nodul
Ginjal kanan : ukuran dan eksogenitas normal, batas kortiko meduler baik,   tak tampak penipisan
Ginjal kiri :  ukuran dan eksogenitas normal, batas kortiko meduler baik,
                           tak tampak penipisan
Paraaorta :  tak tampak pembesaran kelenjar limfe para aortal
Vesica urinaria: dinding tak menebal, permukaan rata, tak tampak massa
Prostat : ukuran normal dan tak tampak kelainan
Kesan : Tak tampak gambaran metastase/kelainan pada organ intra-              
                           abdomen secara sonografi.
c. X foto Thoraks PA (7April 2011)
 Cor : CTR ≤ 50 %
Retrocardial space tak menyempit.
Retrosternal space tak menyempit.
 Pulmo :
-    corakan bronkovaskuler normal.
- tidak tampak bercak kesuraman inhomogen di kedua lapangan paru.
- tidak tampak gambaran coin lesion.
- kedua sinus dan diafragma baik.
- tidak tampak destruksi pada tulang.
 Kesan : - cor tak membesar
 - pulmo tak tampak gambaran metastase, tak tampak kelainan lain
                 pada paru           
3) Pemeriksaan Patologi Anatomi (24 Maret 2011)
Sediaan di biopsi cavum nasi laki-laki usia 46 tahun dengan suspec ca nasofaring meluas ke cavum nasi, massa rapuh, mudah berdarah, dijumpai limfadenopathi colli di kanan ukuran 4 x 4 x 3 cm
Mikroskopik berupa 2 potongan jaringan ukuran 0,7x0,5x0,3 cm dan 0,3 x 0,2 x 0,2 cm putih kecoklatan
Mikroskopik menunjukkan jaringan terdiri atas sel-sel yang berinti pleimorfik, tersusun difus, hiperkromatik dengan nukleoli prominent, mitosis abnormal dapat ditemukan
Tampak beberapa bagian di infiltrasi oleh infiltrasi limfoplasnositik dan beberapa bagian mengalami perdarahan  
          Kesan : squamous cell carcinoma differensiasi moderat

D. Diagnosis
Ca nasofaring T3 N1 Mx dengan pasca eksternal radiasi  VIII
E. Usul
1. Dilakukan brakiterapi, penderita selesai, penderita dikirim ke bagian THT untuk dievaluasi
2. Setelah satu bulan radioterapi selesai penderita dikirim ke bagian THT dan dikonsulkan ke bagian lain yang dianggap perlu
3. Pemantauan efek samping radiasi dan perbaikan keadaan umum
4. Pemantauan penyebaran dan perkembangan tumor

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki berumur 46 tahun akan melanjutkan pengobatan. sering muntah sebanyak tiga kali disertai mimisan yang berlangsung ± 5 menit. ± 1,5 tahun yang lalu muncul benjolan di leher kanan sebesar kelereng semakin lama semakin membesar, tidak nyeri dan warna benjolan sama dengan warna kulit leher.  ± 1 tahun yang lalu pasien berobat ke RST dikatakan ada tumor dan disarankan untuk pemeriksaan PA, dan pasien dirujuk ke RSDK dan memulai kemoterapi. Sampai saat ini pasien sudah mendapat terapi dengan penyinaran. Pasien sudah menjalani 8x terapi kemudian diperiksa CT Scan dan didapatkan masih tampak sedikit benjolan disarankan melanjutkan kemoterapi dan radiasi sebanyak 2x. Keluhan hidung mampet (-), mimisan terakhir kali 2 minggu yang lalu, nyeri kepala (-), melihat dobel (-), telinga  gembrebeg (-), mual (-), muntah (-), sariawan (-), buang air besar tidak ada keluhan.
Pasien memiliki riwayat alergi debu, makanan laut daan nanas, sering makan dan minum makanan atau makanan panas, dan merokok. Penderita tidak memiliki keluarga yang menderita penyakit seperti ini. Kesan sosial ekonomi penderita kurang.
Pada pemeriksaan fisik sudah tidak didapatkan benjolan, tenggorokan T1-1, hiperemis (-) Pemeriksaan laboratorium kesan Hb, Ht dan Eritrosit rendah, yang lain dalam batas normal. Pemeriksaan X foto thorax pada posisi PA tidak didapatkan gambaran metastase. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. Pemeriksaan USG Abdomen tidak tampak metastase dan kelainan sonografi organ intraabdomen yang lainnya. CT-Scan Nasofaring tanpa kontras didapatkan massa isodens pada nasofaring kanan, parafaring kanan-kiri, retrofaring sampai cavum nasi yang menyebabkan obliterasi dari fossa rosenmuller dan torus tubarius kanan-kiri, disertaidestruksi os petrosos kanan dan limfadenopathiregio colli kiri (T3N1Mx); dan deviasi septum nasi ke kiri.
Berdasarkan data-data di atas dapat ditegakkan diagnosis Karsinoma Nasofaring T3 N1 Mx.
Karena hasil diagnosisnya adalah Karsinoma Nasofaring T1 N2 M0, maka penatalaksanaan penderita ini dilakukan terapi eksternal radiasi dengan dosis 6600 cGy, fraksinasi 200 cGy, 2 minggu sekali. Lapangan radiasi lateral dan supraklavikula. Dan saat ini penderita sudah mendapatkan ER sebanyak 8x dan akan melanjutkan brakiterapi.
Setelah terapi pasien dikirim ke bagian THT untuk evaluasi kemudian Setelah satu bulan radioterapi selesai penderita dikirim ke bagian THT dan dikonsulkan ke bagian lain yang dianggap perlu Terapi disertai dengan pemantauan efek samping terapi dan perbaikan keadaan

BAB V
KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa nasofaring. Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia. Etiologi dari Karsinoma nasofaring masih belum diketahui. Banyak faktor yang mempengaruhi kemungkinan keganasan ini. Diagnosa ditegakkan dari gejala klinik, pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan studi-studi yang baru, didapatkan bahwa penderita karsinoma nasofaring stadium lanjut yang mendapatkan terapi kombinasi radioterapi dan kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang hanya mendapatkan terapi radioterapi saja.


DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A, Syafril A. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi 5. Penerbit FKUI. Jakarta. 2001;146-50

2. Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. Standar Pelayanan Profesi Radioterapi Kanker Nasofaring.

3. De Jong Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 1997; 460-1

4. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC. Jakarta 1997; 321-6.

5. Instalasi – PJP SMF Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Standar Prosedur Radiasi Karsinoma Nasofaring

6. Kuntjoro E. Panduan Kuliah Radiologi. Semarang : SMF Fakultas Kedokteran UNDIP.
















Senin, 05 Maret 2012

AKUT ABDOMEN


AKUT ABDOMEN

DEFINISI
            Keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama dan mayoritas memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah jika penanganan terlambat akan meningkatkan morbiditas dan mortilitas

PENYEBAB
         Perdarahan
            Trauma organ padat (hepar, lien), ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa spontan , ulserasi intestinal
         Inflamasi
            Appendisitis akut, cholesistitis akut, divertikulosis Meckel ‘s, pankreatitis akut,
         Iskemik
            Hernia strangulata, volvulus, trombosis a.meseterica
         Obstruksi
            Ileus obstruktivus, Volvulus sigmoid, caecal volvulus, hernia inkarserata, intusupsepsi, carsinoma colorektal
         Perforasi
            Perforasi gaster, perforasi duodenum, perforasi kolon/sigmoid, perforasi diverticulum

NYERI ABDOMINAL
         Keluhan utama pada akut abdomen
         Nyeri abdominal dibedakan menjadi nyeri viseral dan nyeri somatik/parietal



Nyeri Visceral
         Rangsangan pd peritoneum viseral (meliputi organ intraperitoneal) yg dipersarafi oleh saraf otonom
         Timbul jika terdapat tarikan , regangan organ, kontraksi  otot>>
         Nyeri tumpul
         Pasien tdk dpt menunjukkan letak nyeri secara tepat
         Tidak dipengaruhi gerak


Nyeri Somatik
         Rangsangan pd peritoneum parietale yg dipersarafi oleh saraf tepi
         Rangsangan dpt berupa : rabaan, tekanan, perubahan suhu, rangsang kimia, atau proses radang
         Nyeri tajam seperti ditusuk
         Dpt menunjukkan lokasi nyeri secara tepat dgn jari
         Gerakan menambah rasa sakit







LOKASI NYERI VISCERAL
Asal Organ
Organ
Lokasi Nyeri
Foregut
Esofagus, lambung, duodenum, saluran empedu, pankreas
Epigastrium
Midgut
Jejunum→kolon transversum
Periumbilikal
Hindgut
Kolon distal
Infraumbilikal
Retroperitoneal
Ginjal, ureter
Pinggang, lipat paha
Pelvis
Adneksa
Pinggang, suprapubik

Lokasi nyeri somatik

Lokasi
Organ
Abdomen kanan atas
Kandung empedu, hati, duodenum, pankreas, kolon, paru, miokard
Epigastrium
Lambung, pankreas, duodenum, paru, kolon
Abdomen kiri atas
Limpa, kolon, ginjal, paru
Abdomen kanan bawah
Apendiks, adneksa, caecum, ileum, ureter
Abdomen kiri bawah
Kolon, adneksa, ureter
Suprapubik
Buli-buli, uterus, usus halus
Periumbilikal
Usus halus
Pinggang/punggung
Pankreas, aorta ,  ginjal
Bahu
Diafragma





SIFAT NYERI BERDASAR LETAK DAN PENYEBABNYA
         Nyeri Alih
         Nyeri Proyeksi
         Hiperestesi = Hiperalgesia
         Nyeri Kontinyu
         Nyeri Kolik
         Nyeri Iskemik
         Nyeri Pindah

NYERI ALIH
         Nyeri yg dirasakan pd tempat yg jauh dari sumber/stimulus.
         Cth: iritasi pd diafragma à nyeri di bahu
Nyeri Proyeksi
         Nyeri yg disebabkan oleh rangsangan saraf sensorik akibat cedera atau peradangan saraf
         Cth : nyeri fantom setelah amputasi, nyeri perifer setempat pd herpes zoster
Hiperestesi
         Sering ditemukan di kulit jk ada peradangan pd rongga di bawahnya
         Misal : peritonitis
Nyeri Kontiyu
         Akibat rangsangan pd peritoneum parietal akan dirasakan terus-menerus krn berlangsung terus, misal proses inflamasi ( peritonitis à nyeri tekan setempat)

Nyeri Kolik
         Kolik : nyeri viseral akibat spasme otot polos berongga, biasanya disebabkan hambatan pasase dlm organ tsb (obstruksi usus, batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminer).
         Nyeri timbul krn hipoksia yg dialami jaringan dinding saluran
         Trias kolik :
Ø              nyeri perut kumat-kumatan (intermiten)
Ø              mual atau muntah
Ø              gerak paksa

Nyeri Iskemik
         Disebabkan terganggunya sirkulasi lokal
         Nyeri sangat hebat, menetap dan tidak menyurut.
         Merupakan tanda-tanda dari adanya jaringan yg terancam nekrosis, lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum (takikardi, KU menurun & syok)
Nyeri Pindah
            Lokasi nyeri berubah sesuai perkembangan patologis. Misal : apendiksitis akut (umbilicus à perut kanan bawah)





Anamnesis

         Onset : mendadak
         Letak : menetap/beralih
         Sifat : ditusuk, tekanan, terbakar, irisan, atau kolik
         Faktor yang mempengaruhi : sikap tubuh, makanan, minuman, nafas dalam, batuk, bersin, defekasi, miksi
         Gejala penyerta : muntah, konstipasi, diare, pruritus, melena, hematuri
         Riwayat pengobatan dahulu, penggunaan narcotic, NSAID, obat-obatan imunosupresan, alkoholik kronis
         Riwayat ginekologis pd wanita perlu ditanyakan, terutama riw. menstruasi à penting utk keluhan nyeri perut bawah pd wanita muda, misal: KET, PID (pelvic inflamatorydiseases), endometriosis.

PEMERIKSAAN FISIK
         Keadaan umum
         Wajah
         Denyut nadi
         Pernafasan
         Suhu tubuh
         Sikap baringà pd pasien dgn iritasi peritoneum sering mempertahankan posisi berbaring dgn fleksi kedua lutut dan pinggul utk mengurangi ketegangan dinding perut anterior.

Pemeriksaan abdomen
         Inspeksi : datar/cembung, warna kulit, nodul, gambaran & gerakan usus
         Auskultasi : bising usus, metalic sound
         Perkusi : nyeri ketok, pekak sisi N/meningkat , pekak alih, pekak hepar
         Palpasi : nyeri tekan, nyeri lepas defense muskuler , nodul

Rectal toucher
         Dibutuhkan utk setiap kasus nyeri akut abdomen. Utk mengkonfirmasi adanya massa, nyeri pelvis, & perdarahan intraluminal.
Pemeriksaan pelvis &ginekologi
         Kadang jg diperlukan utk pasien wanita dgn nyeri perut di bawah umbilikus

ILEUS
Gangguan passage atau jalannya makanan dalamusus oleh karena suatu sebab



Gejala Klinis
         perut kembung
         muntah, tdk bs flatus& BAB
         riw.laparotomi sebelumnya
         riw.ggn pola defekasi, BAB darah lendir, BB menurun , anemia
         riw.pemakaian obat-obatan, pykt ginjal kronis

Tanda Klinis
         abd. menbuncit
         gambaran usus&gerak peristaltik (+)
         BU meningkat, metalik sound (+) atau malah negatif
         RT : ampula recti colaps (pd letak rendah) atau ampula recti kembung (paralitik)
         wanita tua: px daerah ingunal à hernia femoralis inkarserata



Pemeriksaan Penunjang
         Darah rutin (hemokonsentrasi krn defisit cairan)
         BGA (ggn asam basa)
         Foto Polos Abdomen (air fluid level)

Tata Laksana
         I.v line → rehidrasi, koreksi elektrolit
         Kateter urin, CVP → pantau cairan
         NGT
         Cari penyebab, bila obstruksi :laparotomy



APENDIKSITIS AKUT
ETIOLOGI
      Infeksi bakteri
      Obstruksi lumen apendix ok fecalith, tumor dan cacing ascaris
      Erosi mukosa apendix ok parasit,  E.histolytica
      Kebiasaan makan makanan rendah serat dan konstipasi

Patofisiologi
         Patologi dpt mulai dr lap.mukosa
         24-48 jam pertama meluas ke seluruh lap.dlm appendiks
         Penyumbatan lumen appendiks à mukus yg diproduksi mukosa mengalami bendungan.
         Mukus >>à elastisitas dinding appendiks terbatasà tekanan intralumen meningkat
         Appendisitis akut fokal : ditandai nyeri epigastrium yg disebabkan krn meningginya tekanan intralumen shg tjd hambatan aliran limfe à edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa
         Appendisitis supuratif akut : tekanan↑à obstruksi vena, edema bertambah, bakteri menembus dindingà peradangan meluas pdperitoneum
         Appendisitis gangrenosa : aliran arteri tergangguà infark dinding appendiks diikuti gangren
         Appendisitis perforasi : bila dinding yg telah rapuh itu pecah
         Infiltrat appendiks : usaha tubuh membatasi proses radang dgn menutup appendiks dgn omentum & usus halus shg terbentuk massa periapendikular
         Isinya dpt berupa nekrosis jaringan yg bs membentuk abses.
         Bila tak terbentuk absesà sembuhà massa periapendikular menguraikan diri
         Appendiks yg pernah meradangà jaringan parutàperlengketan dgn jaringan sekitarà keluhan berulangà eksaserbasi akut

GEJALA APP
         Dull pain sekitar umbilicusà sharp pain di abd kanan bawah
         Demam
         Hilang nafsu makan
         Muntah setelah nyeri abdomen
         Tdk mampu berjalan normal krn nyeri, terutama ketika batuk atau melompat
         Perut bengkak
         Konstipasi dan diare

PEMERIKSAAN KLINIS
1.         Inspeksi
         Demam ringan 37,5 - 38°C (suhu lebih tinggià perforasi)
         Mual muntah
         Nafsu makan menurun        
         Kembung sering terlihat pd penderita dgn perforasi
2. Auskultasi : peristaltis sering N,hilang pd peritonitis generalisata krn appendisitis perforata
3. Palpasi
         Nyeri tekan perut kanan bawah, bs disertai nyeri lepas
         Defans muskuler di titik Mc Burney
         Rovsing sign àpd penekanan perut kiri bwh akan dirasakan nyeri di perut kanan bwh
         Pd appendisitis retrosekal atau retroileal àpalpasi dlm utk menentukan adanya rasa nyeri

PEMERIKSAAN LAIN
1. Uji Psoas
         Rangsangan otot psoas
         Hiperekstensi sendi panggul kanan
         Fleksi aktif sendi panggul kanan
         Kmd paha kanan ditekan
         Interpretasi : timbul nyeri apabila appendiks yg meradang menempel di m.psoas mayor
2. Uji Obturator
         Fleksi dan endorotasi sendi panggul pd posisi terlentang
         Utk mengetahui apakah appendiks yg meradang kontak dgn m.obturator internus


Rectal toucher
         Dpt menyebabkan nyeri apabila daerah infeksi bs dicapaidgn jari telunjuk ( pd appendisitis pelvika)
Px.Lab
         Leukositosis ( predominan PMN neutrofil)
         Peningkatan kadar CRP dalam 6-12 jam setelah infeksi
         Urinalisis untuk menyingkirkan diagnosis ISK
Px. Penunjang
FPA, CT scan, USG, MRI

PENATALAKSANAAN
Pra bedah
         Interval dr perawatan di RS smp operasi. digunakan utk px.fisik dan menilai KU pasien serta kemungkinan adanya penyakit lain yg bersamaan, khususnya DM, jantung dan paru pd orang tua.
Bedah
         Bila diagnosis pra bedah apendisitis akut dan nyeri tekan terlokalisasi dgn baik
            àapendektomi:
         Terbuka, dgn insisi obliq/transversa (memberi hasil kosmetik yg lebih baik drpd insisi paramedian kanan)
         Laparoskopi
Pasca Bedah
         Dilakukan utk menghindari komplikasi pasca bedah spt infeksi luka,abses intraperitoneum, fistula fekal,  abses hati.
         CT-Scan dan USG secara tepat mendeteksi lokasi abses. Selanjutnya bisa dilakukan drainase perkutis. Bila hal ini tak berhasil diindikasikan drainase bedah segera.



PANKREATITIS AKUT
Penyebab :
         Alkohol
          Batu empedu
          Trauma
          Tukak peptik
          Virus
          Obat
          Hiperkalsemia
          Idiopatik


Gejala Klinis
         nyeri perut tiba2 yg menembus ke arah belakang, bersifat kontinyu & makin meningkat
         nyeri perut berkurang pd posisi berbaring miring
         mual,muntah
         riw.peminum alkohol

Tanda Klinis
         tanda peritonitis lokal di perut kanan atas/seluruh abdomen
         warna kebiruan di pinggang kiri (GrayTurner sign)/sekitar pusar (Cullen sign)
         takikardi
         tanda syok pdpankreatitis hemoragika
         t ≥ 38°C

Pemeriksaan penunjang

         Lab.
            Hb/Ht tjd penurunan pd pankreatitis hemoragika
            Amilase darah / urin
            Foto Polos Abdomen
            C loop duodenum melebar
            Paralisis segmental (sentinel loop)
            Spasme kolon (colon out off sign)
            Bayangan radioopak daerah pancreas
         USG : edema pankreas, pelebaran duktus& batu empedu
         CT Scan
                     nekrosis, pseudokista, atau pembentukan abses di pankreas
         Foto toraks &EKG
                     Utk menghilangkan kemungkinan kelainan paru & jantung yg memberikan gejala mirip pankreatitis akut


KOLESISTITIS AKUT
            Radang kandung empedu 95% disebabkan sumbatan duktus sistikus terutama oleh batu empedu



GEJALA KLINIS
         nyeri perut akut kanan atas (kolik/ terus-menerus)
         nyeri menyebar kepunggung smp batas bwh scapula kanan
         mual, muntah
         demam

TANDA KLINIS
         wanita, gemuk, >40 thn
         suhu 38-38,5
         tanda2 peritonitis di perut kuadran kanan atas
         Murphy Sign (+)
         nyeri tekan costa/intercosta (-)
         teraba massa ±
         ikterus ringan ±



Pemeriksaan Penunjang

         Lab :
            - leukosit N/meningkat
            - alkali fosfatase N/meningkat
            - serum amilase N/meningkat
         USG:
            gambaran kandung empedu membesar, dinding menebal, sludge (+) atau batu (+)
         EKG & Foto Thorax:
            utk menyingkirkan pneumonitis berat paru kanan atau infark myocard



Tata Laksana
         Decompresi lambung dgn NGT
         Puasa
         Iv line
         Antibiotik      
         Observasi 2x24 jam jk pasien membaik → cholesistektomi 8-12 minggukmd
         Bila terdapat: empyema kandung empedu, peritonitis meluas, tdk ada perbaikan → cholesistektomi cito



Perforasi Tukak Peptik



Gejala klinis
         riw.gastritis (+)
         nyeri perut hebat tiba2
         nyeri bahu (tanda Kerr)
         muntah ±

Tanda klinis
         tanda2 peritonitis (+)
         defens muskular (+)
         pernapasan dangkal
          takikardia
         suhu normal
         tanda2 udara bebas intraperitoneal



Pemeriksaan Penunjang
         PA posisi tegak atau setengah duduk
            àadanya “trap air”pd subdiafragma
         Foto thorax & EKG
            àutk menyingkirkan kelainan paru & jantung

Tata Laksana
         Decompresi dgn NGT dan penghisapan cairan lambung
         Resusitasi cairan
         Analgetik
         Pembedahan


Trauma Abdomen

Trauma abdomen terbagi atas 2 :
         Trauma tembus à disebabkan luka tusuk atau luka tembak
         Trauma tumpul à akibat pukulan, benturan, ledakan, kompresi

DIAGNOSIS
         Anamnesis
            Riwayat trauma pada perut
            Mekanisme trauma
         Pemeriksaan Fisik
            Penurunan kesadaran
            Tanda-tanda syok
            Tanda-tanda rangsangan peritoneum (nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defans muskuler)
            BU lemah/hilang
         Pemeriksaan Laboratorium
            Hb
            Ht
            Leukosit
            Analisis urin
            Kadar amilase serum
         Pemeriksaan Radiologi
            Foto Polos Abdomen
            IVP atau sistogram

PENATALAKSANAAN
         Resusitasi cairan
         NGT
         DC
         Laparotomi bila tanda2 rangsangan peritoneal (+); BU (-); adanya darah dlm lambung, buli, rektum; adanya udara bebas intraperitoneal



Diskusi koas JUNIOR dr KUN SEMEDI, SPBD
Kamis, 23 Desember 2011